Menarik apa yang disampaikan Direktur Pembinaan PAUD Kementerian Pendidikan dan kebudayaan RI R. Ella Yulaelawati R., M., Ph.D dalam sambutannya di Gerakan Indonesia Membaca 26 April 2017 di Menturo Sumobito yang lalu. Sambutan beliau cukup informatif bagi saya, karena banyak hal yang baru saya ketahui saat saya menyimak sambutan beliau ini.
Salah satu topik yang menarik walaupun cukup memprihatinkan adalah sambutan beliau atas fenomena yang terjadi pada bangsa Indonesia ini dalam hal minat membaca buku.
Dalam sambutannya tersebut saya menangkap informasi bahwa berdasarkan survei literasi yang dilakukan salah satu perguruan tinggi dari Amerika Serikat menempatkan Finlandia, Norwegia. Islandia, Denmark dan Swiss sebagai lima negar tingkat melek literasi terbaik. Sementara itu berdasarkan survei tersebut, Indonesia menempati urutan ke-60 dari 61 negara yang disurvei. Indonesia hanya setingkat lebih baik dari Bostwana, sebuah negara miskin di Afrika.
Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil sensus Badan Pusat Statistik menunjukkan sebesar 85,9 persen masyarakat memilih menonton televisi daripada mendengarkan radio ( 40,3 persen) dan membaca koran ( 23,5 persen).
Diperkuat pula oleh data statistik UNESCO yang dilansir pada tahun 2012 menyatakan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Ini artinya tiap 1.000 penduduk, satu orang saja yang memiliki minat baca.
Fenomena inilah yang yang disebut Taufiq Ismail sebagai “tragedi nol buku” di mana generasi tidak membaca satu pun buku dalam satu tahun, generasi rabun membaca dan lumpuh menulis.
Disebut “Tragedi nol buku” ini beliau melihat pada perbandingan fenomena budaya baca di kalangan pelajar saat ini rata-rata lulusan SMA di Jerman membaca 32 judul buku, di Belanda 30 buku, Brunei 7 buku, sedangkan Indoenesia nol buku.
Kenyataan seperti ini tentu tidak boleh berlangsung terus. Kemdikbud sudah memulai melalui Permndikbud No 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti yang di dalamnya memuat kewajiban seluruh warga sekolah meluangkan 15menit membaca buku non-teks pelajaran sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai.Tujuannya adalah menggiatkan budaya membaca dan menghapus generasi nol buku. Kebijakan ini adalah suatu upaya membiasakan membaca. Kata lain dari budaya itu adalah kebiasaan. Jadi, budaya membaca itu kebiasaan membaca sehingga yang harus dilakukan adalah melakukan proses pembiasaan.
Mari menciptakan pembiasaan gemar membaca karena penyebutan “tragedi nol buku” ini bukanlah predikat membanggakan tapi sebaiknya sangat memprihatinkan