Sejumlah 200 pojok baca PAUD seharusnya
bisa bersinergi dengan 36 Taman Bacaan Masyarakat ( TBM) yang ada di
Jombang ini. Begitu salah satu harapannya. Dengan bersinergi, diharapkan
tidak ada lagi keluhan kekurangan sumber bacaan atau buku di tiap pojok
baca PAUD ini. Ini penjelasan dari harapan yang ditulis di sosial media
tersebut yang kemudian diikuti oleh beberapa komentar senada dengan
status.
Memang, bukan alasan prinsip kalau soal
kekurang buku menyebabkan gerakan membaca ini jadi lambat, karena
ketersediaan perpustakaan di Indonesia menempati peringkat 35 di atas
Singapura, Malaysia, Jerman, Portugis dan Australia ( sesuai informasi
yang saya tangkap dari sambutan Ibu Ella Yulaelawati). Sementara itu,
untuk minat baca, informasi dari sambutan Bu Ella ini, Indonesia
menempati urutan ke 60 dari 61 negara yang disurvei oleh perguruan
tinggi dari Amerika Serikat. Ini artinya bahwa keberadaan perpustakaan
tidak berbanding lurus dengan minat baca yang ada di Indonesia.
Kembali pada gerakan literasi, saya
sendiri sebagai orang yang masih perlu dukungan dan dorongan di kegiatan
literasi di Jombang ini juga sudah lama berharap banyak atas geliat
literasi di Jombang ini bisa menggerakan semua elemen masyarakat.
Saya menaruh harapan besar agar anggota komunitas taman baca yang ada ini selain memiliki kegiatan rutin dalam internal lembaganya atau komunitas terbatasnya, ia tidak saja menjadi inspirator kegiatan literasi tapi juga pendorong dan pemberi apresiasi bagi kegiatan literasi yang dilakukan komunitas lainnya.
Kegiatan yang bisa dilakukan ini
misalnya anjang sana dari taman baca satu ke taman baca yang lain untuk
berbagi ilmu tekait gerakan membaca ini. Saling memberi informasi
terkait kegiatan literasi , misalnya memberi ide ide kegiatan yang
sesuai dengan kearifan lokal dari komunitas tertentu. Mudah memberi
apresiasi atas capaian prestasi komunikasi lain, terbuka dalam membuat
inovasi kegiatan, ihlas jika yang ia lakukan akan diikuti oleh komunitas
baca lainnya, bahkan ringan dalam mengajak donatur buku yang ia kenal
untuk berbagi buku di komunitas lainnya. Begitu pula ketika memiliki
kawan penulis atau pegiat literasi lainnya dikenalkan pula pada
komunitas baca seperjuangan.
Memiliki kegiatan special bagi internal
komunitasnya itu wajar saja, namun kalau sering melakukan kegiatan itu
sendiri -sendiri, tidak ada komunikasi antar anggota komunitas baca, ada
yang berprestasi ada yang masih merangkak bergerak maju, kegiatan
literasi masih cenderung membawa nama internal komunitasnya sendiri
untuk meraih prestasi, mungkin di sinilah hambatan bagi terwujudnya
gerakan membaca.
Semua yang saya ungkapan di atas
hanyalah analisa dangkal dari apa yang saya lalui sebagai pengelola
taman baca yang juga anggota komunitas taman baca di Jombang ini dan
masih nol prestasi.
Gerakan membaca saya pahami setara
dengan gerakan massal yang berdampak massif. Semua pegiat literasi,
pengelola taman baca bergerak bersama sama melepaskan nama komunitas
kecilnya melebur menjadi pegiat literasi Jombang, yang sudah berprestasi
tidak ekslusif dan elitis dan yang masih nol prestasi tidak minder dan
terbuka menerima ide- ide kreatif dari yang berprestasi.(*)